Heading

Heading

Kamis, 19 Desember 2013

Jogja Ku - Edisi Sate Sapi Nyoss ala Pasar Beringharjo

Jogja merupakan merupakan "my second hometown" bagi saya setelah kota Semarang. Karena di Jogja inilah saya pernah menjalankan tugas selama satu tahun ketika terjadi bencana gempa bumi yang cukup parah di tahun 2006 lalu. Selama menjalankan tugas saya tersebut, banyak hal yang saya pelajari dari budaya dan kearifan masyarakat lokal ketika saya berinteraksi lebih dekat dengan mereka. Satu prinsip yang hampir rata-rata dipegang oleh masyarakat lokal disana yang membuat saya kagum..yaitu prinsip "nrimo" dalam istilah Jawa nya, atau menerima apa adanya dalam arti yang sebenarnya. Ketika bencana gempa bumi meluluhlantakan sebagian besar rumah penduduk di daerah Bantul, tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban, baik korban luka-luka maupun korban harta. Dan sebagian besar dari mereka adalah para manula yang tidak sempat untuk menyelamatkan diri dari bencana.

Ketka saya melihat langsung kondisi rumah-rumah mereka yang rusak parah, sangat miris dan prihatin melihat kondisi tersebut, terlebih lagi sementara waktu mereka harus tinggal di dalam tenda-tenda yang dibagikan oleh pemerintah maupun bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan. Namun dibalik semua duka tersebut, masih terlihat senyum bahagia dan semangat untuk bangkit dari kesedihan. Dalam suatu kesempatan saya berdialog dengan salah satu penduduk yang juga menjadi korban. Ketika saya tanyakan tentang perasaan 


mereka dalam menghadapi bencana ini, mereka menjawab menerima semua cobaan dari Gusti Allah (Tuhan YME) ini, dan ingin segera membangun kembali rumahnya yang rusak meskipun tidak mendapat bantuan. Luar biasa, rupanya hal ini lah yang membuat Sultan ketika itu tidak menerapkan "Cash for work" dalam proses rehabilitasi rumah penduduk korban bencana, seperti yang pernah diterapkan di Aceh dalam bencana tsunami. Karena semangat gotong royong yang tinggi yang dianut penduduk lokal disana, maka tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membangun kembali rumah-rumah yang rusak karena gempa. 


Kembali ke sifat "nrimo" tadi, saya jumpai juga hal ini diluar dari konteks bencana alam, yang juga menjadi kehidupan sehari-hari salah satu pedagang makanan di Pasar Beringharjo Jogja. Pada suatu kesempatan jalan-jalan di kota Jogja untuk mencari kuliner unik, saya sempat berkunjung ke Pasar Beringharjo yang sudah cukup terkenal di Jogja. Saya masuk dari gerbang utama pasar tersebut, menyusuri tiap lorong yang ada di pasar. Muluai dari penjual korden/sprey, baju-baju suvenir, batik, barang-barang antik di pinggir pasar, hingga saya menemukan deretan penjaja makanan di sebelah Selatan pasar. Diantara para penjaja makanan tersebut, ada satu makanan yang menjadi daya tarik saya..apalagi kalau bukan makanan daging..hehehe...akhirnya saya memutuskan untuk "mangkal" di penjaja makanan tersebut, yaitu Sate Nyoss daging sapi...wow..perlu dicoba nih bisik saya dalam hati. Yang membuat saya tertarik adalah potongan daging nya yang cukup besar dan ada juga sate lemaknya... 

Saya memesan satu porsi sate dengan lontongnya. Sambil menunggu si Ibu memanggang sate, saya sambil menikmati alunan musik seniman jalanan yang juga "mangkal" di dekat situ. Alat musik yang digunakan pun cukup unik, yaitu angklung dan gendang. Dengan komposisi pemain musik sejumlah 6 orang, musik yang dimainkannya pun cukup membuat daya tarik bagi pengunjung pasar untuk menikmati dan memberikan sumbangan ke tempat yang telah disediakan oleh para seniman tersebut. 

Saya juga sempat berbincang dengan si Ibu penjaja sate ini. Menurut si Ibu, dia mempunyai 2 lapak di pasar Beringharjo dengan dagangan yang sama, yaitu di bagian dalam pasar dan di pinggir pasar ini. Namun yang di bagian dalam kurang laku karena mungkin kurang terlihat oleh para pengunjung. Akhirnya Ibu ini lebih memfokuskan untuk bergadang di luar pasar. Ketika saya tanya apakah yang di bagian dalam yang berjualan itu suaminya? Katanya bukan, suami nya hanya sebagai tukang bangunan biasa. Mereka tinggal di sekitar jagalan, dekat dengan Radio Retjo Buntung. Dengan kondisi yang serba pas-pas an tersebut si Ibu ini sudah cukup bahagia dengan apa yang ia miliki dan tekuni saat ini. Dan yang membahagiakan lagi adalah anak-anak mereka sudah menikah dan tinggal di Jakarta. Saya kagum dan salut dengan si Ibu ini, meskipun kalau dipikir-pikir anak-anaknya sudah bisa membantu membiayai kehidupan orang tua nya, tapi Ibu ini tetap bertekad untuk menekuni menjajakan sate nya. Sungguh luar biasa...

Kembali ke topik makanan yang enak tadi...tak lama berbincang dengan si Ibu, sate yang saya pesan sudah siap untuk dinikmati. Tanpa menunggu lama saya langsung makan satu persatu sate tersebut. Ternyata daging sate nya cukup empuk..tidak perlu tenaga ekstra untuk mengunyah daging tersebut..apalagi sate lemaknya..begitu masuk mulut langsung lumer dan uenak buanget...meskipun dalam 1 porsi berisikan 5 tusuk sate, tapi cukup membuat kenyang perut..dan harganya pun hanya Rp. 12.000 saja kalau tidak salah untuk 1 porsinya... Kita juga bisa memilih bumbu yang kita mau, bisa dengan bumbu kacang atau pun bumbu kecap. Kalau saya sih waktu itu memilih bumbu kecap, karena lebih pas untuk daging sapi.

Nah bagi anda yang sedang jalan-jalan ke malioboro, sempatkan lah untuk mampir ke pasar Beringharjo, khususnya untuk mencicipi sate Nyoss yang kata Ibu nya sudah pernah diliput oleh TV swasta lho...jadi penasaran kapan ya liputanya itu...hehehe...

Baiklah lah, sampai disini dulu cerita dari saya...selamat mencoba Sate Nyoss dan salam untuk Ibu nya ya kalo ketemu..hehehe..
 Inilah si Ibu penjaja Sate Nyoss di Pasar Beringharjo yang terlihat sangat sederhana

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar